Kementerian Keuangan buka suara terkait kasus dugaan tindak pidana kepabeanan impor emas batangan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang mencapai Rp 189 triliun.
Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Yustinus Prastowo menjelaskan, persoalan impor emas batangan di DJBC tersebut bermula pada 2016. Yustinus secara khusus membuat thread atau utasan lewat akun Twitternya @prastow.
“Bagaimana sih latar belakang kasus emas Rp 189 T yang menjadi kontroversi ini? Saya bahas dalam #utas berikut,” kata Yustinus memulai cuitannya, dikutip Rabu (5/4/2023).
Utasan Yustinus tersebut, juga sebagai balasan atas cuitan akun Twitter Partai Socmed, mengenai kasus dugaan tindak pidana kepabeanan impor emas batangan di DJBC.
Dalam cuitannya, Partai Socmed mengungkapkan, kasus tindak pidana impor emas batangan itu, seharusnya sangat sederhana dan mudah diungkap. Namun, dibuat seolah menjadi rumit, berdasarkan pernyataan-pernyataan pejabat di Kemenkeu.
Lewat balasan cuitannya, Yustinus menjelaskan, persoalan bermula pada 2016 silam. Di mana KPU Bea Cukai Soekarno-Hatta (Soetta) melakukan penindakan atas eksplorasi emas melalui kargo yang dilakukan oleh PT. Q yang kemudian ditindaklanjuti dengan penyidikan di bidang kepabeanan.
Saat itu, kata Yustinus, PT Q melakukan submit dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dengan pemberitahuan sebagai Scrap Jewellery.
Kendati demikian, petugas KPU BC Soetta mendeteksi kejanggalan pada profil eksportir dan tampilan X-Ray, sehingga diterbitkan Nota Hasil Intelijen (NHI) untuk mencegah pemuatan barang.
Saat dilakukan pemeriksaan terhadap barang ekspor ditemukan emas batangan (ingot), alias tidak sesuai dengan dokumen PEB.
“Saat dilakukan pemeriksaan terhadap barang ekspor disaksikan oleh PPJK (Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan) dan perusahaan security transporter (DEF), ditemukan emas batangan (ingot) alias tidak sesuai dokumen PEB. Bahkan seharusnya ada persetujuan ekspor dari Kemendag (Kementerian Perdagangan),” jelas Yustinus.
Dari pemeriksaan itu, setiap kemasan disisipkan emas bentuk gelang dalam jumlah kecil untuk mengelabui x-ray, sehingga seolah yang akan diekspor adalah perhiasan.
Sebelum adanya temuan itu pada 2016, pada 2015, Yustinus mengatakan pada 2015 PT Q pernah mengajukan permohonan SKB (pembebasan) PPh Pasal 22 Impor (DPP senilai Rp 7 triliun), namun ditolak Ditjen Pajak, karena wajib pajak tidak dapat memberikan data yang menunjukkan atas impor tersebut, menghasilkan emas perhiasan tujuan ekspor.
Jadi, ini memang modus PT Q mengaku sebagai produsen Gold Jewelry tujuan ekspor untuk mendapat fasilitas tidak dipungut PPh Pasal 22 Impor emas batangan yang seharusnya 2,5% dari nilai impor. Aturan ini tertuang di dalam PMK No.107/PMK.010/2015 pasal 3.
“Sehingga jelas kenapa kegiatan ekspor disebut dalam klarifikasi kami. Karena ekspor lah yang menjadi indikasi awal adanya tindak pidana di bidang kepabeanan oleh PT Q. Dan tentu penyidikan yang dilakukan menyeluruh hingga tahapan impor. Itulah duduk perkara secara kronologis,” jelas Yustinus.
Setelah dinyatakan penyidikan sudah lengkap atau P21, PT. Q terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan. Namun, perkara tersebut tidak dinyatakan sebagai tindak pidana.
Prastowo mengatakan DJBC kemudian mengajukan kasasi dan PT. Q terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Namun, PT. Q mengajukan peninjauan kembali (PK) yang menyataan PT. Q terbukti melakukan perbuatan didakwakan tetapi bukan tindak pidana.
Sejalan dengan penanganan PT. Q tersebut, Kementerian Keuangan dan PPATK bersinergi dengan pemeriksaan atas entitas PT.Q oleh PPATK dan penelitian administrasi kepabeanan oleh DJBC serta penelitian administrasi perpajakan oleh DJP. Setelah itu dilakukan penyelidikan dugaan TPPU.
Berdasarkan case PT. Q serta ditemukannya kesamaan modus, PPATK menyampaikan SR-205/PR.01/V/2020 kepada DJBC berisi IHP atas grup perusahaan yang bergerak di bidang emas dengan total nilai transaksi keuangan (keluar-masuk) sebesar Rp 189,7 triliun.
DJBC kemudian menindaklanjuti SR tersebut, salah satunya dengan analisis kepabeanan (ekspor-impor) dan disimpulkan belum ditemukan adanya indikasi pelanggaran pidana di Bidang Kepabeanan.
“Mempertimbangkan tidak adanya unsur pidana kepabeanan & telah dilakukan penyidikan, divonis, namun kalah di tingkat Peninjauan Kembali (PK), maka dilakukan optimalisasi melalui tindak lanjut aspek perpajakan melalui surat PPATK nomor SR-595/PR.01/X/2020 yg disampaikan ke DJP,” lanjut Prastowo.
Data SR tersebut kemudian dimanfaatkan DJP untuk pemeriksaan bukti permulaan terhadap PT. Q, sehingga WP melakukan Pengungkapan Ketidakbenaran dan diperoleh pembayaran sebesar Rp1,25 miliar serta berhasil mencegah restitusi LB SPT Tahunan 2016 yang sebelumnya diajukan oleh PT. Q sebesar Rp1,58 miliar.
“Sehingga menjadi jelas bahwa Kemenkeu tidak mendiamkan apalagi menutup-nutupi data PPATK ke Bu Menteri. Semua dapat dijabarkan dengan akuntabel, transparan, bahkan digunakan untuk optimalisasi penerimaan. Termasuk mengenai impor akan kami bahas tuntas,” kata Prastowo.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md mengungkapkan nilai transaksi janggal senilai Rp 189 triliun itu diduga terkait tindak pidana pencucian uang dari cukai yang melibatkan 15 entitas.
Namun, dalam laporannya malah disebutkan terkait pajak sehingga PPATK melakukan penelitian ulang terhadap respons dari Kemenkeu itu.
“Adalah dugaan pencucian uang, cukai dengan 15 entitas, tapi apa laporannya? menjadi pajak, sehingga ketika diteliti oh iya ini perusahaannya banyak, hartanya banyak, pajaknya kurang, padahal ini cukai laporannya, apa itu? emas,” tegas Mahfud.
Mahfud mengatakan, dugaan TPPU terkait cukai itu memanfaatkan komoditas emas batangan yang sudah jadi. Namun, laporan yang disebutkan para pegawai di sana kata Mahfud adalah dalam bentuk emas mentah yang berasal dari Surabaya. Ketika diperiksa PPATK ternyata tidak ditemukan pabrik pengolah emas mentah.
“Katanya ini emas mentah tapi dicetak di Surabaya, ketika dicari di Surabaya nggak ada pabriknya dan itu menyangkut uang miliaran saudara, laporan itu diberikan sejak 2017 oleh PPATK bukan 2020,” kata Mahfud.