Rencana redenominasi atau penghapusan nol pada rupiah sebenarnya telah bergulir sejak 2013. Namun, rencana tersebut belum jua terealisir hingga 10 tahun kemudian.
Padahal, redenominasi telah dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Redenominasi Mata Uang. Saat itu, rencana ini terganggu dengan adanya gejolak ekonomi dunia dan ada normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat, sehingga rancangan aturan ini tertunda.
Baru kemudian pada 2017, https://www.alternatifkas138.online/ Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersama Gubernur Bank Indonesia (periode 2013-2018) Agus Martowardojo menemui langsung Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka. Tujuan keduanya adalah untuk melaporkan RUU Redenominasi Mata Uang yang sudah siap untuk diusulkan kepada DPR.
Saat itu, keduanya melihat kondisi ekonomi dan politik Indonesia pada 2017 dalam keadaan yang baik dan stabil. Alhasil, saat itu merupakan waktu yang tepat untuk mengusulkan RUU inisiatif terkait redenominasi mata uang.
Dari catatan keduanya, pertumbuhan ekonomi sudah kembali ke atas 5%, inflasi selama dua tahun terakhir juga terkendali pada kisaran 3%, serta cadangan devisa dalam kondisi yang kuat.
Namun pada akhirnya, Sri Mulyani memutuskan untuk tidak mengajukan RUU tentang Redenominasi Mata Uang ke dewan parlemen sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas), karena memprioritaskan revisi RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang diusulkan ke DPR.
Kemudian, rencana redenominasi rupiah kembali mengemuka, di tengah penanganan pandemi Covid-19 pada 29 Juni 2020. Kementerian Keuangan mengusulkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (redenominasi) masuk dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024.
Usulan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024.
Berdasarkan peraturan tersebut, urgensi RUU redenominasi ini antara lain untuk efisiensi perekonomian, menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi, dan pelaporan APBN.
“RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi). Urgensi pembentukan: Menimbulkan efisiensi perekonomian berupa percepatan waktu transaksi, berkurangnya risiko human error, dan efisiensi pencantuman harga barang/jasa karena sederhananya jumlah digit Rupiah,” tulis Kemenkeu dalam PMK-nya, dikutip Rabu (26/4/2023).
Kemudian urgensi kedua adalah menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan APBN karena tidak banyaknya jumlah digit Rupiah.
Sayangnya, pemerintah belum memberikan pernyataan apapun terkait dengan kelanjutan redenominasi. Bank Indonesia sendiri menegaskan hanya akan mengikuti arahan pemerintah.